RURAL HOUSE: CHAPTER 4
By Andieta Octaria
***
Eric menatap ke sekitarnya. Ia masih berada di rumah Sonia. Namun ada yang berbeda.
Rumah ini semarak, dipenuhi perabotan dan sedikit berantakan. Ia seakan berada di rumah Sonia bertahun-tahun yang lalu. Ia menatap dinding. Saat ia kemari bersama Sonia, dinding dicat putih polos tanpa hiasan apapun. Meskipun ia tahu ia berada di rumah yang sama, namun suasananya sangat berbeda.
Dinding dicat coklat muda, dengan foto keluarga besar tergantung di ruang tamu. Dapur yang sebelumnya kosong, kini dipenuhi oleh perabotan. Kompor, piring, gelas, serta sebuah kulkas mungil dengan model yang sudah ketinggalan jaman. Pada bagian bawah dinding, terdapat coretan anak-anak yang dibuat dengan krayon. Dari jendela, ia bisa melihat sebuah sepeda roda tiga berwarna pink diparkir dengan berantakan. Segala benda yang berada di tempat ini terlihat ketinggalan jaman. Rumah ini terasa tua, namun juga berkesan hidup.
Eric menyusuri rumah tersebut. Ia mengintip kedalam kamar tempatnya menginap. Di dalamnya, ia melihat seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang masih kecil memejamkan mata kuat-kuat. Di sudut tempat tidur, seorang wanita muda duduk sambil mengelus kepala mereka lembut. Bibirnya bergerak-gerak, menyanyikan sebuah lagu yang membuat bulu kuduk Eric meremang.
Sleep…
let sleep tonight… and have a good dream…
don’t let mosquito bite, don’t let nightmare to come…
sleep… or I will come to you…
Eric membeku ketakutan. Tanpa sadar ia menginjak sebuah mainan kecil yang mengeluarkan suara lantang. Perempuan yang duduk di sudut ranjang langsung menoleh, menatapnya. Eric tak dapat bergerak. Namun wanita itu hanya melihatnya dengan tatapan kosong, seakan tak melihat apa-apa. Seakan pemuda itu kasat mata.
Wanita itu menyelesaikan nyanyiannya, lalu keluar dari kamar. Sebelum Eric sempat bersembunyi, wanita itu keluar, melewatinya.
Eric terkejut bukan main ketika wanita itu berjalan menembusnya.
Apa yang terjadi?
Eric mulai panik. Ia menatap kedua tangannya. Tangannya terlihat tembus pandang. Ia tak mengerti apa yang terjadi. Ia juga tak dapat mengingat mengapa ia bisa berada disini. Eric menatap wanita yang tadi bernyanyi. Pasti wanita tersebut adalah Arina, wanita yang membunuh keluarga Sonia.
Eric memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Ia berjalan hati-hati menuju tempat tidur. Di atas tempat tidur, ia melihat seorang gadis kecil dengan wajah mirip Sonia dan seorang anak laki-laki yang lebih kecil lagi sedang tertidur. Tiba-tiba, dia mendengar jendela diketuk. Jantung Eric berdebar kencang. Ia mengenal ketukan tersebut. Ketukan yang sama seperti yang ia dengar saat menginap.
Ketukan itu menbuat anak laki-laki yang telah tertidur terbangun. Ia melompat dari kasur lalu mencoba membuka jendela. Ia masih terlalu kecil untuk menggapai kunci jendela. Usahanya hanya membuat jendela bergetar semakin keras. Akhirnya gadis kecil yang berada di tempat tidur terbangun. Ia membantu adiknya membuka jendela. Eric melihat dari tempatnya seorang anak laki-laki masuk ke dalam kamar.
Ia menyadari, anak laki-laki tersebut adalah anak yang ia lihat beberapa jam yang lalu. Anak laki-laki yang mengetuk-ketuk jendelanya dengan wajah pucat dan leher yang mengucurkan darah. Namun, anak laki-laki di depannya bukan hantu. Anak laki-laki di depannya merupakan anak yang sehat tanpa luka di leher. Eric sadar, ia kembali ke masa lalu. Saat Sonia masih kecil dan keluarganya masih hidup.
Kakak Sonia pasti mengetuk jendela karena takut dimarahi bila masuk dari pintu depan. Ia pasti pulang terlalu malam karena terlalu asik bermain. Sementara, adik kecilnya yang berusaha membukakan jendela membuat jendela bergetar semakin hebat. Ketukan dan getaran di jendela yang Eric alami tadi malam pasti karena mereka berdua. Mungkin kakak dan adik Sonia tidak menyadari bila mereka telah meninggal.
Eric menatap tiga anak kecil di hadapannya dengan sedih. Ia tak bisa membayangkan kesedihan seperti apa yang dialami Sonia. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar. Di luar, ia melihat bapak Sonia tengah menerima telefon. Rahangnya mengeras. Ia terlihat marah, atau kesal. Eric berjalan mendekat.
“Saya minta maaf bila saya mengecewakan bapak, tapi saya bisa berjanji hal ini tidak akan terjadi lagi. apa yang terjadi kemarin hanya kecelakaan. Ketiga anak saya masih kecil pak, bila bapak ingin mem-PHK saya, setidaknya beri saya satu bulan untuk mencari pekerjaan baru…”
Suara itu terdengar putus asa. Dahinya berkerut dalam. Ia duduk dengan kaku. Ia mengerti sekarang mengapa orang tua Sonia menagih hutang pembantunya. Andai saja mereka tahu apa yang akan terjadi. Andai saja PHK itu tak pernah terjadi.
Eric meninggalkan ruang tamu, lalu mengintip ke kamar utama. Ia memutuskan untuk masuk.
“Kamu pasti teman Sonia.”
Eric terpaku di tempatnya. Bukankah seharusnya ia tak terlihat?
“Duduklah.”
Ia menatap ibu Sonia yang duduk dengan anggun di depan meja rias. Wajahnya tirus, persis seperti Sonia, hanya saja lebih tua.
“Saya mohon maaf telah lancang masuk ke kamar ini. Saya kira saya tidak terlihat.”
“Kamu memang tidak terlihat.”
Eric menatap wanita di depannya tidak mengerti,
“Terkadang, saya bisa melihat apa yang tidak dapat terlihat.”
Mereka berdua terdiam. Dalam hati, Eric bertanya-tanya apakah ibu Sonia bisa melihat masa depan? Apakah ia mengetahui bahwa sebentar lagi ia akan meninggal?
“Saya tahu sebentar lagi saya akan meninggal. Namun ada hal-hal yang dapat kita ketahui namun bukan berarti dapat kita hentikan. Saya juga tahu kamu teman Sonia. Karena itu… saya minta tolong kamu untuk menjaga Sonia. Untuk menjaga Kia dan Kay, kakak dan adik Sonia.”
Eric tercekat. Ibu Sonia tidak mengatahui apa yang akan terjadi dengan keluarganya. Ia hanya mengetahui bahwa sebentar lagi ia akan meninggal.
“Saya akan berusaha untuk menjaga Sonia, tante…”
“Maukah kamu berjanji? Apapun yang terjadi?”
“Saya janji.” Ibu Sonia tersenyum. Ia dapat melihat kedamaian dari matanya.
“Pulanglah. Sonia membutuhkanmu.”
“Tapi saya tidak tahu bagaimana cara untuk kembali ke masa kini!”
“Kau akan pulang saat tiba saatnya. Sekarang, tutup matamu.”
Eric menutup matanya,
“Sampaikan salam tante pada Sonia, tolong katakan padanya, ibu mencintainya.”
Suara wanita itu bergetar menahan tangis. Namun lalu hening. Ia tak dapat mendengar apapun. Kepalanya terasa berat dan pening. Bagian belakang kepalanya berdenyut. Eric membuka mata perlahan.
***
Handy mengelilingi rumah dengan hati-hati. Ia belum juga menemukan perempuan itu. Ia takut bila perempuan itu berlari ke kantor polisi atau melakukan hal bodoh lainnya yang dapat membuatnya kehilangan tempat tinggal. Ia menggenggam kayu di tangannya erat-erat. Sesungguhnya ia tak suka kekerasan. Bila bisa memilih, ia lebih menyukai membius perempuan itu sampai pingsan dengan sapu tangan yang telah diberi obat bius dibandingkan harus memukulnya. Lagipula, ibunya selalu mengajarkannya untuk lembut kepada wanita.
Ia berjalan mengendap-endap. Ia sudah memeriksa seluruh bagian rumah, hanya tinggal kamar mandi utama. Ia memegang kayu di tangannya erat-erat, siap-siap membuka pintu kamar mandi. Handy mendorong pintu kamar mandi perlahan lahan, lalu menatap ke dalam. Seketika, ia tercengang, tak pernah membayangkan apa yang akan ia lihat.
Di dalam kamar mandi, Sonia berdiri dengan posisi yang tidak wajar. Setengah badannya terpelintir menghadap belakang. Bibirnya mengeluarkan geraman-geraman kasar. Tubuhnya menegang. Handy bisa melihat urat di sekujur tubuh gadis itu menonjol, membuat tubuhnya dipenuhi guratan-guratan biru. Matanya terbelalak terbalik, menyisakan bagian putih yang dipenuhi urat-urat merah..
Mulutnya bergetar hebat, mengeluarkan busa putih di sekitar bibirnya. Rambutnya tergerai acak-acakan. Tangannya menggenggam tepi bak mandi erat-erat hingga ujung-ujung jarinya membiru dan kukunya memutih. Nafasnya tersenggal-senggal dari tenggorokan. Bajunya terkoyak dan di beberapa tempat ia melihat bekas cakaran. Sepertinya gadis itu mencakar dirinya sendiri.
Sonia dirasuki sesuatu. Entah apa. Handy bisa melihat bahwa gadis itu mati-matian melawan apapun yang ingin mengambil alih kuasa tubuhnya. Setiap kali gadis itu bergerak, gerakannya tiba-tiba berhenti, seakan Sonia melarangnya. Tubuh Sonia hanya menegang dengan posisi yang menyakitkan. Handy tak membuang-buang waktu. Ia melepaskan kayu dari tangannya, lalu mengambil sapu tangan dari sakunya dan segera membekap hidung dan mulut Sonia.
Gadis itu tak memberontak sedikitpun, namun perlahan-lahan tubuhnya melemas. Sebelum ia pingsan, mata Sonia berputar, lalu menatap Handy. Handy terperangah. Ia seakan mengenal tatapan itu. Tatapan yang selalu ia rindukan.
Tatapan ibunya.
TO BE CONTINUED
No comments