Mitos dan Asal Usul Jenglot
Ahmad Syamsudin bukan satu-satunya orang yang mengaku menangkap jenglot. Sebelumnya banyak cerita serupa di Tanah Air. Misalnya beberapa waktu silam ada cerita Warga Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, yang mengaku menangkap sepasang jenglot berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Kisah mistis jenglot memang selalu menarik publik. Seperti di Kudus itu, cerita penangkapan jenglot segera beredar dari mulut ke mulut. Cerita jenglot ini juga sudah banyak ditulis di berbagai media, lengkap dengan mitos-mitosnya.
Penelusuran merdeka.com di internet, jenglot banyak ditemukan di beberapa wilayah di nusantara, misalnya Jawa, Kalimantan dan Bali. Jenglot dipercaya memiliki kekuatan mistis dan memakan darah manusia. Masyarakat Indonesia meyakini jenglot sebagai makhluk yang memiliki kekuatan mistis dan dapat mengundang bencana.
Wikipedia berbahasa Indonesia menulis jenglot ini hidup di hutan belantara penuh dengan pohon raksasa tempat persembunyiannya. Karena bentuknya kecil, makhluk ini berjalan lambat. Jenglot hanya mampu keluar di malam hari karena tak ada binatang buas dan manusia yang akan mengganggunya dan menyebabkan kepunahan.
Dalam mitos jenglot memang dianggap memiliki kekuatan mistis. Namun secara medis, jenglot didefinisikan sebagai bukan makhluk hidup setelah diteliti oleh Tim Forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, beberapa tahun silam.
Melalui foto sinar Rontgen, peneliti di RSCM tidak menemukan ada unsur tulang di tubuh jenglot itu. Namun yang mengejutkan justru diperoleh dari penelitian DNA lapisan kulit jenglot yang mengelupas ternyata mirip manusia.
Beberapa literatur lain menyebut jenglot ditemukan saat sejumlah paranormal alias dukun melakukan tirakat di Wlingi, Jawa Timur, pada 1972 silam. Mereka kemudian mendapatkan jenglot tersebut. Temuan yang dipamerkan waktu itu ada empat, salah satunya disebut sebagai jenglot, berjenis kelamin lelaki dan konon bisa membantu mengamankan pemiliknya dari segala macam bahaya.
Namun ada pendapat lain, jenglot pada masa ribuan tahun lalu adalah seorang petapa yang tengah mempelajari ilmu Bethara Karang. Ilmu Bethara Karang diyakini sebagai ilmu keabadian. Artinya, setiap orang yang memiliki ilmu tersebut akan hidup abadi di dunia.
Setelah itu, sang petapa menjadi emosional dan merasa sebagai jawara. Tak pelak, tubuhnya pun menyusut hingga akhirnya mengecil. Empat taring kemudian tumbuh memanjang tidak sebanding dengan lebar mulutnya.
Tetapi celakanya, akibat kutukan itu jasad jenglot tidak diterima di dunia sedangkan rohnya tidak diterima di akhirat. Maka hasilnya roh tersebut seperti terpenjara dalam jasad kecil itu.
Jenglot sendiri sebenarnya diyakini sebagai benda mati, alias bukan makhluk hidup. Meski jenglot bukan makhluk hidup, tetapi daya spiritual jenglot tetap hidup dan dipelihara oleh para paranormal dan masyarakat yang memercayainya. Karenanya jenglot harus tetap diberi makan oleh orang yang memilikinya.
Makanan jenglot sendiri konon adalah darah manusia. Tetapi tidak sembarang darah, melainkan hanya darah golongan O dan AB dan juga minyak wangi. Anda boleh percaya boleh tidak.
Kisah mistis jenglot memang selalu menarik publik. Seperti di Kudus itu, cerita penangkapan jenglot segera beredar dari mulut ke mulut. Cerita jenglot ini juga sudah banyak ditulis di berbagai media, lengkap dengan mitos-mitosnya.
Penelusuran merdeka.com di internet, jenglot banyak ditemukan di beberapa wilayah di nusantara, misalnya Jawa, Kalimantan dan Bali. Jenglot dipercaya memiliki kekuatan mistis dan memakan darah manusia. Masyarakat Indonesia meyakini jenglot sebagai makhluk yang memiliki kekuatan mistis dan dapat mengundang bencana.
Wikipedia berbahasa Indonesia menulis jenglot ini hidup di hutan belantara penuh dengan pohon raksasa tempat persembunyiannya. Karena bentuknya kecil, makhluk ini berjalan lambat. Jenglot hanya mampu keluar di malam hari karena tak ada binatang buas dan manusia yang akan mengganggunya dan menyebabkan kepunahan.
Dalam mitos jenglot memang dianggap memiliki kekuatan mistis. Namun secara medis, jenglot didefinisikan sebagai bukan makhluk hidup setelah diteliti oleh Tim Forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, beberapa tahun silam.
Melalui foto sinar Rontgen, peneliti di RSCM tidak menemukan ada unsur tulang di tubuh jenglot itu. Namun yang mengejutkan justru diperoleh dari penelitian DNA lapisan kulit jenglot yang mengelupas ternyata mirip manusia.
Beberapa literatur lain menyebut jenglot ditemukan saat sejumlah paranormal alias dukun melakukan tirakat di Wlingi, Jawa Timur, pada 1972 silam. Mereka kemudian mendapatkan jenglot tersebut. Temuan yang dipamerkan waktu itu ada empat, salah satunya disebut sebagai jenglot, berjenis kelamin lelaki dan konon bisa membantu mengamankan pemiliknya dari segala macam bahaya.
Namun ada pendapat lain, jenglot pada masa ribuan tahun lalu adalah seorang petapa yang tengah mempelajari ilmu Bethara Karang. Ilmu Bethara Karang diyakini sebagai ilmu keabadian. Artinya, setiap orang yang memiliki ilmu tersebut akan hidup abadi di dunia.
Setelah itu, sang petapa menjadi emosional dan merasa sebagai jawara. Tak pelak, tubuhnya pun menyusut hingga akhirnya mengecil. Empat taring kemudian tumbuh memanjang tidak sebanding dengan lebar mulutnya.
Tetapi celakanya, akibat kutukan itu jasad jenglot tidak diterima di dunia sedangkan rohnya tidak diterima di akhirat. Maka hasilnya roh tersebut seperti terpenjara dalam jasad kecil itu.
Jenglot sendiri sebenarnya diyakini sebagai benda mati, alias bukan makhluk hidup. Meski jenglot bukan makhluk hidup, tetapi daya spiritual jenglot tetap hidup dan dipelihara oleh para paranormal dan masyarakat yang memercayainya. Karenanya jenglot harus tetap diberi makan oleh orang yang memilikinya.
Makanan jenglot sendiri konon adalah darah manusia. Tetapi tidak sembarang darah, melainkan hanya darah golongan O dan AB dan juga minyak wangi. Anda boleh percaya boleh tidak.
[mtf/merdeka]
No comments