Header Ads

RURAL HOUSE: CHAPTER 3

 

RURAL  

By Andieta Octaria

  ***

Tanpa menggunakan kamera, ia tak dapat melihat apa-apa. Hanya kamar kosong seperti yang ditunjukkan Sonia sebelumnya. Namun melalui kamera handphone, ia dapat melihat sesuatu yang membuat perutnya bergejolak.

Di layar handphone, ia dapat melihat dinding kamar dipenuhi cipratan darah. Ia bisa membayangkan seseorang yang ditusuk berlari sepanjang kamar. Bersembunyi, ketakutan, dengan darah yang tak berhenti mengalir. Ia bisa membayangkan dengan jelas pembunuhnya pada akhirnya dapat mendobrak masuk, lalu mendorong korban ke dinding, menciptakan bercak dan genangan darah di lantai sekitarnya.

Eric menyorot kamera handphone Sonia ke sekeliling kamar. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Di depan meja rias, sesosok wanita menatapnya lekat-lekat.

Wanita tersebut berlumuran darah. Di perutnya terdapat beberapa luka tusuk. Tubuhnya menggigil. Bibirnya yang pucat bergetar hebat. Eric terpaku. Sosok di depannya seakan ingin mengatakan sesuatu padanya. Tanpa Eric sadari, ia berjalan maju dengan perlahan. Sebelum ia sempat menyadari apa yang ia lakukan, sosok itu menerjang maju.

 

KYAAAAAAAK

Eric tertegun. Sosok itu membuka mulut, mengeluarkan suara tajam dan tinggi yang menyayat. Gerakannya berderak, seperti suara tulang yang patah. Saat bergerak, genangan darah membasahi lantai disekitarnya.

Eric berlari keluar kamar, lalu buru-buru bersembunyi di kamar sebelah, tempatnya tidur malam ini.

Ia mendorong kasur hingga melintang menutup pintu. Entah apakah hal ini dapat menghentikan makhluk yang berada di luar, namun ia butuh waktu untuk berpikir dengan logis. Ia meletakkan handphone Sonia, tak ingin melihat apapun yang tertangkap oleh kamera, lalu memejamkan mata.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang harus ia lakukan? Dimana Sonia? Ribuan pertanyaan menggantung tanpa jawaban di benaknya. Ia tak ingin lagi melihat sesuatu yang seharusnya tak menampakkan diri di depan manusia. Namun ia membutuhkan lampu flash dari HP Sonia. Dan menyalakan lampu flash berarti merekam. Dan merekam, membuat rasa ingin tahunya menggila dan pada akhirnya membuatnya menatap layar handphone.

Apapun yang terjadi diluar sana, apapun yang bisa dilihatnya, ia tak membutuhkannya saat ini. Ia butuh berpikir. Eric memejamkan matanya rapat-rapat, memikirkan jalan keluar. Berharap malam cepat berakhir atau setidaknya hari ini hanyalah bagian dari mimpi buruknya. Atau ada pintu EXIT besar dengan neon hijau menyala terang yang dapat menyelamatkannya.

Ia bisa saja meninggalkan rumah ini. Mobilnya menyala dan ia memegang kuncinya. Namun ia tak ingin meninggalkan Sonia. Tetapi, menemukan Sonia dalam keadaan seperti ini sepertinya mustahil untuk dilakukan.

Pikirannya buntu. Nafasnya memburu.

 

Sleep…

let sleep tonight… and have a good dream…

don’t let mosquito bite,  don’t let nightmare to come…

sleep…

or I will come to you…

 

Eric terlonjak. Suara itu terdengar persis di telinganya. Belum hilang rasa terkejutnya, ia mendengar suara ketukan di jendela. Semakin lama semakin keras. Ia bahkan dapat merasakan jendela bergetar hebat.

“DRAK! DRAK! DRAAAAK!!!!”

Suara nyanyian terdengar semakin nyaring. Tak lagi menyerupai bisikan, nyanyian itu kini berubah menjadi teriakan keras dan nyaring yang memekakkan telinga.

 

SLEEP…

LET SLEEP TONIGHT… AND HAVE A GOOD DREAM…

DON’T LET MOSQUITO BITE, DON’T LET NIGHTMARE TO COME…

SLEEP…

OR I WILL COME TO YOU…

 

Ia cepat-cepat mendorong kasur yang menghalangi pintu, lalu segera keluar dari kamar. Ia segera dibalut oleh malam yang gelap gulita. Sebelum ia sempat mengambil HP Sonia untuk menyalakan lampu flash, seseorang mengendap-endap dari belakangnya.

Sebelum Eric sempat menyadari apa yang terjadi, kepalanya dipukul dari belakang, membuat Eric kehilangan kesadaran, lalu terjatuh pingsan.

***

 

Handy menatap pria di hadapannya dengan tatapan puas. Tangannya memainkan kayu plafon yang lapuk dan terjatuh dari tempatnya, yang kini menjadi senjatanya. Ia meraba dinding di sekitarnya, lalu menyalakan saklar lampu.

Ia mengenal tempat ini dengan sangat baik. Sudah beberapa tahun diam-diam ia tinggal di rumah ini. Ia hafal setiap lekuk rumah, letak stop kontak, saklar, hingga kebiasaan warga sekitar untuk membersihkan rumah ini setiap hari Jumat.

Ia menatap Eric dengan kebencian. Akhirnya hari ini tiba. Hari yang selalu ia nanti-nantikan.

Ibunya, Arina, di eksekusi mati karena pemilik rumah ini. Padahal hal tersebut bukan sepenuhnya salah ibunya. Saat itu ayahnya tiba-tiba kabur dari rumah, meninggalkan ibunya dan ia yang saat itu baru berusia sepuluh tahun. Di tengah kesulitan yang mereka hadapi, ia sakit keras, membuat ibunya terpaksa berhutang pada keluarga Sonia, keluarga Rural.

Namun lama kelamaan kehidupan mereka memburuk. Tak ada lagi sarapan pagi. Tak ada lagi makan tiga kali sehari. Di tengah semua kesulitan itu, keluarga Rural menagih hutang-hutang ibunya, tanpa mempedulikan kesulitan yang mereka alami. Di tengah kesulitan dan kebingungan, ibunya berubah kalap dan tanpa sengaja membunuh seluruh keluarga, kecuali Sonia yang saat itu tengah berkemah dan tak ada di rumah.

Setelah itu, mereka melarikan diri. Namun mereka terlalu ketakutan hingga akhirnya tak lama kemudian polisi berhasil menangkap ibunya, membuatnya hidup sebatang kara. Semenjak itu, ia hidup dari belas kasihan orang di sekitarnya. Ia tak memiliki siapapun ataupun tempat untuk tinggal. Hingga suatu hari, ia menyadari rumah ini tak lagi berpenghuni. Dan ia sungguh membutuhkan tempat untuk tinggal.

Awalnya, ia takut untuk tinggal di rumah ini. Bukan karena apa yang telah terjadi di tempat ini, melainkan pandangan warga terhadapnya, si anak pembunuh. Namun ia tak memiliki pilihan lain. Rumah ini bersih dan tak berpenghuni. Warga hanya mengunjunginya setiap hari Jumat untuk membersihkan rumah. Maka ia hanya butuh untuk menghindari rumah ini setiap hari Jumat, selain hari itu, ia aman. Lagipula tak ada yang berani mengecek kamar di bagian belakang, tempat pembunuhan pertama terjadi, sehingga tak ada yang pernah mengetahui keberadaannya.

Ia hanya butuh menyiapkan obat bius dan stun gun untuk berjaga-jaga, siapa tau ada yang mengetahui keberadaannya. Namun apa yang terjadi hari ini sungguh tak terduga. Seorang wanita datang ke rumah ini. Ia tak pernah mengetahui wajah anak yang lolos dari pembunuhan itu, namun ia tanpa sengaja mendengar percakapan Sonia dan Eric di ruang tamu. Dari situ ia mengetahui bahwa Sonia merupakan anak kecil yang dulu tak berhenti menangis berhari-hari setelah menemukan mayat anggota keluarganya.

Bila keluarga Rural tak pernah menagih hutang-hutang itu, pasti saat ini ia masih tinggal bersama ibunya.

Handy menyeret tubuh Eric yang pingsan kedalam kamar belakang, lalu mengikat Eric kuat-kuat ke sebuah kursi.

Tanpa ia sadari, Sonia menatapnya dalam kegelapan sambil menggeram.

 

TO BE CONTINUED

No comments

Powered by Blogger.