Prajogo Pangestu : Taipan Kayu Terbesar di Indonesia
Majalah Far Eastern Economic Review menamainya “Lord of the Forest” alias “Raja Kayu”. Kayu dan hutan memang menjadi bisnis utamanya, bisnis yang besar dan luas. Kisah bisnis Prajogo Pangestu adalah “Kisah Ala Cinderella”. Bermula sebagai penjual ikan asin di Singkawang, Kalimantan Barat, dia melesat bak meteor menjadi taipan penguasa Grup Barito Pacific International, Induk dari 120 perusahaan dengan kepak sayap bisnisnya meliputi Sumatra Selatan sampai Irianjaya.
Beliau Juga sempat masuk kedalam peringkat 9 orang terkaya di Indonesia yang dirilis oleh majalah Globe Asia pada tahun 2010. Dan hingga kini beliau masih menempati peringkat 40 Orang terkaya di Tanah Air Indonesia. Lahir 57 tahun silam di Sungai Betung, Kalimantan Barat, Yang letaknya tidak jauh dari Kota Singkawang. Dia adalah anak seorang penyadap getah karet bernama Phang Siu On. Kehidupan yang sulit dan miskin menghantui masa kecil Prajogo. Merasa tidak cukup menghidupi keluarga dari hanya menyadap getah, Phang kemudian alih profesi sebagai tukang jahit di Pasar Sungaibetung. Oleh ayahnya, Prajogo kecil diberi nama Phang Djun Phen, yang dalam mitologi suku Khek “Orang Cina di Taiwan” berarti “burung besar terbang tinggi menguak awan mendung”.
Nama ini juga merupakan doa orang tuanya agar anak laki-lakinya itu dapat mengatasi mendung kemiskinan keluarga. Phang Djun Phen atau A Phen “demikian nama kecil Prajogo” hanya tamat sekolah menengah pertama di SMP Nan Hua, sekolah berbahasa Mandarin di Singkawang. Selepas sekolah, A Phen mengadu peruntungan di Jakarta, tetapi nasib mujur belum berpihak kepadanya. Dia gagal, dan kembali ke Kalimantan. Di kampung halamannya, A Phen mengadu nasib di atas roda. Ia menjadi sopir angkutan umum yang melayani trayek Singkawang-Pontianak. Tidak lama menjadi “Raja Jalanan”, A Phen memulai usaha kecil-kecilan. Ia berjualan keperluan dapur, bermacam-macam bumbu dan ikan asin.
Nasib baik mulai mengantar Prajogo ke tangga sukses sejak pertengahan tahun 1960-an. Dia berkenalan dengan Bong Sun On, orang Serawak, Malaysia, yang masuk ke Indonesia lewat Pontianak ketika deras-derasnya penyelundupan kayu ke Malaysia. Di sini Bong benar-benar memetik “dolar hijau” ketika penebangan hutang besar-besaran masih menganut sistem persil dan petak rakyat. Sistem ini membuat pemerintah kesulitan mengawasi manipulasi jumlah tebangan. Nama Prajogo mulai dikenal orang ketika pada 1975. Pada saat Bong Sun On “ Atau yang lebih dikenal dengan Burhan Uray” memindahkan perusahaannya, PT Djajanti, dari Pontianak ke Banjarmasin. Burhan mengangkat Prajogo menjadi General Manager PT Nusantara Plywood di Surabaya.
Baru setahun di situ, Prajogo meninggalkan perusahaan bosnya. Dia sudah merasa cukup ilmu untuk berdiri sendiri, apalagi sebelumnya ia sudah banyak belajar seluk-beluk masalah hutan dari para ahli Malaysia yang didatangkan Djajanti. Dia memulai perusahaannya sendiri pada 1976, ketika membeli perusahaan CV Pacific Lumber Coy, yang sedang mengalami kesulitan keuangan akibat turunnya harga kayu log. Pacific Lumber sebelumnya milik Obos, pengusaha kayu asal Barito Selatan. Prajogo kemudian mengubah Pacific Lumber menjadi Barito Pacific Coy. Dari sini Barito berkembang. Ayunan kapaknya membabat gelondongan-gelondongan kayu di hutan Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Maluku, dan Sumatra Selatan.
Menurut sebuah sumber TEMPO di Departemen Kehutanan, sukses Barito tidak lepas dari mengelola hak pengusahaan hutan (HPH) gelap yang digarap Prajogo di Kalimantan Timur. HPH gelap yang dimaksud adalah milik PT Panambangan di Kalimantan, yang forestry agreement-nya ditandatangani sejak 1970, dan mendapatkan SK HPH pada 1972 untuk pengelolaan selama 20 tahun. Pengurus PT Panambangan adalah keluarga dekat Soeharto. Saham PT Panambangan dimiliki oleh sepupu Soeharto, Soekamdani Sahid Gitosardjono, lewat Yayasan Mangadeg, sebuah yayasan yang didirikan untuk mengurusi makam klan Soeharto di Desa Bendogerit, Astana Giribangun, Solo.
Para pemegang saham lainnya adalah istri Soekamdani, Ny. Juliah, mantan Menteri Kehutanan Sujarwo, Prapto H. Tjitrohupoyo, dan koperasi karyawan perusahaan itu. Di era Soeharto, hak pengelolaan hutan memang telah dikapling-kapling serta dibagi-bagikan kepada kerabat serta “pangeran-pangeran”-nya, terutama di kalangan militer. Namun, seperti tampak kemudian, hak pengelolaan itu tidak disertai keseriusan mengelolanya. Dalam banyak kasus, operasi pengelolaan hutan diserahkan kepada orang lain, meski itu sebenarnya melanggar Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967, yang melarang pemindahtanganan konsesi HPH. Tapi, siapa mau melawan kerabat Soeharto dan para jenderal? Orang seperti Prajogo diuntungkan oleh sistem itu.
Mereka memang harus bekerja lebih keras dibanding pemilik HPH sebenarnya, tapi mereka juga mendapatkan kemudahan karena telah “membantu” kerabat serta pangeran Istana. Kemudahan bisa berarti banyak hal. Salah satunya adalah, menurut sumber tadi, menyelundupkan kayu ke Malaysia dengan rekanan lokal. Haji Sulaiman disebut sebagai orang kepercayaan Prajogo untuk mengangkut kayu-kayu selundupan ke Malaysia pada pertengahan 1970-an, ujar sumber tadi. Haji Sulaiman, yang sekarang menjadi anggota MPR utusan daerah Kalimantan Selatan, membantah tudingan. Pendiri klub sepak bola Barito Putera itu memang mengaku sudah berbisnis dengan Prajogo sejak 1976. Ia menjadi kontraktor penarikan kayu-kayu log dari hutan di pedalaman sampai ke Banjarmasin. “Saya memang memiliki usaha penarikan kayu, dengan rakit dan kapal kecil. Kalau ke Malaysia, itu harus menggunakan kapal besar. Itu fitnah,” katanya. Sepak terjang Prajogo tidak tersentuh hukum.
Siapa yang berani menyentuh rente bisnis di lingkungan dekat presiden kala itu. Walaupun demikian, bisnisnya sempat limbung lantaran pemerintah mengeluarkan peraturan melarang ekspor kayu gelondongan pada 1980. Namun, Prajogo cepat dapat mengatasinya dengan membangun perusahaan pengolahan kayu, setelah berhasil menggaet pinjaman dari Credit Lyonais Bank Prancis sebesar 150 juta franc. Dengan pinjaman itulah Prajogo membangun pabrik sawmill dan plywood, yang menjadi cikal-bakal Barito Pacific Timber (BPT). Dan kali ini Prajogo sukses sebagai produsen dan eksportir plywood terbesar di dunia.
Sejalan dengan kemajuan usahanya, Prajogo semakin memperbaiki hubungannya dengan Keluarga Cendana. Sementara sebelumnya ia hanya dekat dengan paman dari anak-anak Soeharto, Prajogo pun mulai langsung mendekati putra-putri Presiden. Bersama dengan putri tertua Presiden, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, Prajogo berkongsi dalam perusahaan-perusahaan yang bermarkas di Sumatra seperti PT Enim Musi Lestari, Perkebunan Hasil Musi Lestari, dan Gandaerah Hendana, pada pertengahan 1980-an. Juga pada 1991, mereka mendirikan perusahaan PT Musi Hutan Persada. Selain dengan Tutut, Prajogo juga berkongsi dengan Bambang Trihatmodjo, bos Grup Bimantara, mendirikan pabrik bubur plastik Chandra Asri di Cilegon, Jawa Barat, dan Bank Andromeda pada 1990.
Dari hanya usaha kayu, kini Prajogo merambah ke manufaktur dan industri keuangan. Dia masuk ke lingkungan yang paling inti dari kekuasaan Soeharto. Prajogo bahkan sering tampak menemani Soeharto bermain golf dengan membawakan tongkatnya. Ibarat dereten kartu domino, akibat terlalu dekat dengan keluarga Soeharto, bisnis Prajogo menuai masalah begitu pemimpin Orde Baru itu jatuh. Namun, Prajogo “si Burung Besar” lihai membaca tanda-tanda zaman. Ia memerlukan cantelan politik baru. Kali ini kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Belum lama berselang, Presiden Abdurrahman melindungi Prajogo dengan pernyataannya untuk menunda penyidikan terhadap sang Konglomerat, dan menyebutnya sebagai aset negara yang telah membuka lapangan kerja dan menambah nilai ekspor. Tapi, Nasib Prajogo seperti dipertaruhkan di meja judi kini.
Muncul desakan lebih kuat untuk menuntut para koruptor dan pengusaha yang berselingkuh dengan mereka ke meja hijau. Dan Presiden Abdurrahman, yang terdesak oleh musuh-musuhnya di parlemen, kini harus mengeluarkan kartu pamungkas: dia memilih seorang jaksa agung baru, Baharuddin Lopa, yang lebih keras sikapnya dari pendahulunya, dan kemungkinan besar melepaskan perlindungan terhadap Prajogo. Adalah Lopa yang mengirim Bob Hasan ke penjara maksimum Nusakambangan. Kisah Proyek Menara Jakarta Konglomerat Prajogo Pangestu dan Henry Pribadi masih menjadi pemegang saham dalam proyek pembangunan Menara Jakarta. Bahkan Prajogo akan menjadi pemegang saham mayoritas pembangunan menara setinggi 558 meter tersebut.
Pemegang sahamnya seperti Kompas Grup, Prajogo Pangestru, Henry Pribadi, ada dua lagi yang saya lupa namanya. Porsi Prayogo Pangestu yang paling besar,” kata Presiden Direktur Wiratman & Associates Multidiciplinary Consultants Wiratman Wangsadinata sebagai perancang Menara Jakarta, saat dihubungi detikFinance Jumat (4/12/2009) Ia mengatakan Menara Jakarta ini kurang lebih akan menelan dana hingga kurang lebih Rp 5 triliun. Dimana menara setinggi 558 meter ini akan memiliki antena komunikasi setinggi 60 meter tepat diatas menara.”Pembangunannya bertahap selama paling lama 2 tahun,” katanya. Proyek Menara Jakarta yang akan menjadi menara tertinggi di Indonesia dan salah satu yang tertinggi di dunia, akan kembali dibangun pengerjaan konstruksi pada Januari 2010. Jika tidak ada halang melintang, rencananya pada tahun 2012 menara setinggi 558 meter itu akan rampung. Sebelumnya proyek menara Jakarta sudah menjadi buah bibir masyarakat, namun sempat tertunda pengerjaannya karena krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada tahun 1997/1998 lalu.
http://equatoronline.blogspot.com/2011/09/prayogo-pangestu-burung-besar-dalam.html
http://www.orangterkayaindonesia.com/profil-prajogo-pangestu-taipan-kayu-terbesar-di-indonesia/
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/3897-pendiri-grup-barito-pacific
No comments