JANE X: PLUTON CARNAGE – CHAPTER 6 (ORIGINAL SERIES)
Fan fiction by: Dave Cahyo
WARNING: UNTUK DAPAT MEMAHAMI CERITA INI, KALIAN HARUS TERLEBIH DAHULU MEMBACA SERI JEFF THE KILLER YANG MEMUAT TOKOH JANE THE KILLER, YAKNI “VOW OF REVENGE” DAN “TRIUMPH OF EVIL”
“ZAAAAP!!! ZAAAAAP!!!!” sinar laser segera menyambar tubuh Mara hingga ia akhirnya tersungkur hangus tak bernyawa di atas tumpukan salju.
“Nocturna! Nocturna!” Marco segera menghubungkan kembali selang oksigen ke dalam pakaian Nocturna. Gadis itu kembali bisa bernapas.
Ia nyaris menangis ketika melihat wajah Marco menatapnya erat, kemudian tak sadarkan diri.
***
“Gordonus!” seru Alaric dari luar pintu palka pesawat melalui interkom. “Buka pintunya!”
“Astaga! Kemana orang tidak berguna itu?” Talia mulai kesal, “Apa dia mabuk lagi? Ini kondisinya darurat!”
Alaric menatap Marco yang sedang menggendong Nocturna yang masih pingsan.
“Ah, persetan!” Alaric menggunakan senjata lasernya untuk memotong pintu itu.
“Apa yang kau lakukan?” jerit Talia, “Jika kau merusaknya, pintu ini takkan bisa dikunci! Apa kau tak lihat mayat-mayat yang bergelimpangan di luar sana? Pembunuhnya bisa saja masuk ke kapal!”
“Apa kau mau mati kedinginan di luar sini?” Alaric akhirnya berhasil membuka pintu dan membawa semuanya masuk. Ia menatap sebentar ke belakang, memastikan tak ada yang mengikuti mereka, lalu menutup pintu. Ia kemudian menggunakan palang untuk mengunci pintu dari dalam.
“Kalian semua sebaiknya segera ke ruang medis. Miranda, periksa keadaan Nocturna! Aku akan segera ke ruang kemudi untuk membawa kita semua pergi dari planet terkutuk ini!” Alaric segera memisahkan diri dengan mereka. Sementara itu Marco segera membawa Nocturna ke ruang medis, diikuti Miranda dan Talia.
Marco membaringkan tubuh Nocturna di atas sebuah tempat tidur berteknologi tinggi. Lengan-lengan robot segera keluar memeriksanya, diikuti cahaya scan yang menyinari sekujur tubuhnya. Hasil diagnosis segera keluar di layar komputer yang melayang di samping tempat tidur itu.
“Apa dia akan baik-baik saja?” tanya Marco penuh kecemasan.
“Jangan khawatir. Ia hanya shock. Ia akan segera bangun.” ujar Miranda, “Tak ada masalah dengan fisiknya, namun psikologisnya ... sepertinya ia mengalami stress yang amat hebat.”
“Ya, ibunya baru saja meninggal dan sekarang ayahnya ...”
“Ibunya?” Miranda tampak tertarik. “Ada apa dengannya?”
“Seseorang menerobos ke rumah mereka dan membunuh ibunya. Polisi juga tak bisa menemukan pembunuhnya.”
“Pembunuhan?” Miranda tampak heran, “Itu aneh sekali. Tak pernah terjadi pembunuhan di koloni tata surya ini sejak ratusan tahun lalu. Itu kejadian yang amat langka.”
Marco tiba-tiba mengalihkan perhatiannya pada Talia, “Kau masih berutang penjelasan padaku!”
“Ini adalah rahasia perusahaan, Marco. Aku tak bisa menjelaskannya dengan rinci kepadamu, namun yang pasti kita harus segera pergi dari planet ini!” ujar Talia.
“Jane The Killer ... dia ada di planet ini ...”
Marco menoleh mendengar suara kekasihnya. Nocturna rupanya sudah bangun dan terduduk di atas tempat tidur.
“Kau masih harus beristirahat.” ujar Miranda.
“Aku tak apa-apa, Dokter.”
“Nocturna, kau baik-baik saja?” tanya Marco.
“Da ... darimana kau tahu tentang Jane?” Talia terdengar ketakutan.
“Dengar ini, pesan terakhir ayahku ... Mr. B!” panggil Nocturna.
Seutas suara tiba-tiba bergema di ruangan itu, suara Kapten Abram, “Nocturna, putriku ... jika kau mendengar ini, berarti ayah sudah meninggal.”
Air mata mengalir di pipi Nocturna ketika gadis itu mendengarnya.
“Namun jangan khawatir. Kini ayah sudah bersama dengan ibumu di Valhalla. Ada yang ingin ayah sampaikan kepadamu tentang kematian ibumu. Ayah tahu siapa pembunuh ibumu ... Jane The Killer.”
Marco terdiam ketika mendengar nama itu disebut. Ia pernah mendengarnya sebagai salah satu penjahat paling ditakuti semasa Bumi masih ada. Namun bukahkah kata orang dia hanyalah creepypasta, cerita fiktif yang beredar di internet?
“Jika kau belum pernah mendengarnya, manusia di zaman kita mengenalnya sebagai tokoh creepypasta. Namun sebenarnya ia betul-betul ada. CORSPE menekan media massa agar tidak memberitakannya dan memanipulasinya hingga seolah Jane hanyalah cerita rekaan saja. Dan CORSPE ... sebaiknya kau bertanya sendiri kepada mereka mengapa Jane bisa kembali ke zaman kita.”
Marco menatap makin curiga ke arah Talia yang kini terlihat amat gugup.
“Yang jelas, Jane telah kembali dan itulah alasanku mengambil pekerjaan ini. Aku tahu CORSPE akan mengangkut Jane yang telah dibekukan ke dalam kargo untuk dikirim ke lab mereka di Zarmina, tersembunyi di antara kargo makanan yang mereka kirimkan. Demi membalas dendam, aku kemudian membuang Jane ke Pluto. Namun aku tak menyangka akhirnya malah jadi begini ... maafkan aku, Nocturna ... harusnya ayah tak melibatkanmu ke dalam semua ini ...”
Suara Kapten Abram terputus. Mungkin itu adalah saat dimana Jane menghabisinya.
“Jane The Killer. Bagaimana kau menjelaskannya, Dokter Talia?” tanya Marco dengan sinis.
***
“Gordonus ...” langkah Alaric terhenti ketika melihat genangan darah di lantai. Ia kemudian memutar kursi pilot dan melihat mayat Gordonus dengan sayatan menganga di lehernya. Pemuda itu menyentuh jenazah itu dengan jari telunjuknya. “Mayatnya sudah dingin,” pikir Alaric, “Berarti kematiannya sudah berjam-jam lalu.”
Ia lalu menatap layar yang menampakkan video keamanan di luar kapal.
Ada sesosok wanita bersenyum lebar tengah menatap ke arah kamera di tengah hujan salju.
Alaric berpikir dalam hatinya.
“Aku punya rencana.”
***
“Apa? Kalian mengkloning Jane The Killer?” Marco tersentak.
“Kalian tak bisa memungkiri, walaupun dengan rekor kejahatannya, bahwa Jane adalah manusia yang tangguh. Oleh karena itu dia sempurna bagi project kami.” jawab Talia.
“Dataku mengenai human endurance.” bisik Dokter Miranda, “Proyekku juga didanai CORSPE. Itukah tujuan kalian? Menciptakan manusia yang mampu hidup di planet lain?”
“Planet tanpa oksigen, gaya gravitasi berlipat, suhu ekstrim; manusia dengan human endurance yang tinggi mampu mengatasinya. Itulah tujuan proyek kami. Menakjubkan bukan?”
“Menakjubkan? Kalian memberikan seorang pembunuh berantai kejam kemampuan yang membuatnya mampu hidup di planet manapun tanpa perlu bernapas .... itu kalian sebut menakjubkan?” Marco tak percaya keegoisan CORPSE.
“Kami tak punya pilihan lain. Kami tak mungkin mengkloning manusia tak bersalah. Dengan mengkloning para pembunuh berantai, masyarakat takkan peduli jika proyek kami gagal dan berakhir dengan kematian mereka. Kami hanya bisa menggunakan anggota masyarakat yang terbuang sebagai subjek penelitian kami untuk menghindari kontroversi.”
“Namun Jane lolos dan membunuh ibuku!” jerit Nocturna, “Apa kalian mau bertanggung jawab?”
“Soal itu ... kami berhasil menangkapnya dan memutuskan memindahkannya ke Zarmina dimana fasilitas penelitian kami memiliki keamanan lebih ketat. Kami sudah berusaha sebaik mungkin.”
Amarah Marco terasa mendidih. “Sekarang dia ada di luar sana dan mengincar kita semua. Itukah yang kalian sebut usaha terbaik kalian?”
“Itu bukan salah kami! Itu salah ayahnya yang telah membuang Jane ke planet ini!”
“Jangan sebut-sebut ayahku!”
“Kalian semua!” terdengar suara panggilan di interkom.
“Alaric? Apa yang terjadi?”
“Gordonus sudah mati. Kalian kembalilah ke kokpit. Aku butuh bantuan kalian untuk menerbangkan pesawat ini. Dokter Miranda, aku minta bantuanmu untuk mengawasi Jane. Aku akan menyambungkan komputer di ruang medis dengan kamera pengaman di luar.”
“Baiklah.” ujar Dokter Miranda.
Marco, Dokter Talia, dan Nocturna segera menuju ke kokpit, meninggalkan Dokter Miranda sendirian di ruang medis. Ia menyalakan layar komputer dan jantungnya hampir terhenti melihat sosok menakutkan Jane tengah berdiri di tengah hujan salju di luar kapal.
Menyeringai ke arahnya.
***
“Ada apa Alaric memanggil kita?” tanya Nocturna di dalam lift.
“Entahlah, namun pasti penting!” ujar Marco sedang cemas.
“Kalian sudah tidak apa-apa kan?”
“Maksudmu?”
“Yah ... hubungan kalian agak renggang sejak ...”
“Sejak kau lebih memilih aku ketimbang dia? Tenanglah, Nocturna. Ia sudah menerima keputusanmu dengan baik. Ia hanya ingin kita bahagia.”
“Syukurlah jika begitu.”
“Sekarang adalah saatnya ...” tiba-tiba terdengar bisikan di telinga Nocturna.
“Apa?” tanya Nocturna kebingungan, “Apa maksudmu, Mr. B?”
“Ada apa?” Marco terlihat heran.
“Mr. B ... dia mengatakan sesuatu. Ah, sudahlah. Lupakan!”
Marco dan Nocturna melangkahkan kaki keluar lift. Ketika Dokter Talia mengikuti mereka, tiba-tiba pintu lift menutup dan menjepit tubuh Talia di antaranya.
“Dokter, apa yang terjadi?” Marco terkejut melihat kejadian itu.
“Entahlah ... aku tidak tahu. Bantu aku melepaskannya ...”
Talia berusaha mendorong pintu itu, namun percuma. Identitasnya sebagai androgyni membuatnya tak sekuat laki-laki sesungguhnya.
Marco berusaha mendorong pintu lift itu, sementara Nocturna berusaha menekan tombol lift, namun semuanya percuma.
Tiba-tiba lift itu bergerak naik.
“Ti ... tidaaaak!!! Aku masih terjepit!” Talia mulai panik.
“Alaric! Alaric!” seru Marco. “Tolong kami!” pemuda itu tahu Alaric bisa melihat mereka melalui kamera keamanan.
Namun terlambat. Tubuh Talia mulai tergerus dan hancur ketika lift itu mengangkatnya hingga langit-langit. Tubuhnya remuk dari tekanan lift dan lantai di atasnya. Potongan-potongan tubuhnya berjatuhan, membuat Nocturna menjerit sekeras mungkin.
***
Mata Dokter Miranda masih menatap ke layar. Jane masih bergeming di sana, tak bergerak. Sementara salju berjatuhan di pundak dan kepalanya.
Miranda bergidik ngeri. Ia pernah mendengar tentang tes psikopat dimana apabila hendak membunuh seseorang yang bersembunyi di suatu tempat, orang normal dan psikopat sejati akan bertindak berbeda. Orang dengan pikiran normal akan masuk ke tempat persembunyian itu, sementara seorang psikopat akan berpikir lain.
Ia akan menunggu mangsanya hingga keluar.
Apa itu yang tengah Jane lakukan?
Namun Miranda menangkap ada sesuatu yang aneh.
Salju itu.
Salju terus turun sejak tadi. Bukankah salju itu harusnya menumpuk di pundak dan kepala Jane?
Miranda mulai memicingkan matanya, mencoba mencari tahu apa lagi yang aneh.
Salju itu, lagi-lagi.
Salju itu terus turun dalam lintasan yang sama persis.
Seolah-olah ....
“Astaga!” Miranda baru menyadarinya, “Ini hanyalah rekaman yang terus diulang-ulang! Jane ... Jane kemungkinan sudah berada di dalam pesawat ini!”
Miranda berusaha memperingatkan yang lain. Ia segera bergegas menuju pintu keluar, namun tiba-tiba pintu itu menutup dan terkunci.
“Lepaskan aku!” teriaknya, “Buka pintunya!”
Tiba-tiba bunyi alarm menyala. Ia menatap barometer dan termometer ruangan medis tempatnya berada sekarang. Karena perjalanan antarplanet yang dilakukan pesawat ini, maka pesawat ini dapat mengatur tekanan dan suhu ruangan agar tidak dipengaruhi suhu dan tekanan planet tempatnya berada.
Tiba-tiba angka dalam termometer dan barometer itu terus beranjak naik.
Tekanan ruangan yang terus naik membuat tubuhnya terasa remuk. Belum lagi suhu yang terus meningkat membuat kulitnya terasa terbakar.
“Ti ... tidaaaak!” jeritnya, “Ada pengkhianat di antara kita!”
Seseorang menyaksikan melalui monitor pengendali ketika Dokter Miranda akhirnya terguling tewas di dalam ruangannya.
TO BE CONTINUED
No comments