Belajar dari Kebangkrutan Detroit
Berita tentang kebangkrutan Kota Detroit di negara bagian Michigan, Amerika Serikat (AS) seharusnya membuka mata para elite Indonesia terkait penerapan otonomi daerah (otda). Pelaksanaan otonomi di negara federal seperti AS, ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Kebangkrutan Detroit menunjukkan bahwa mengelola sebuah daerah otonom tidak semudah membalik telapak tangan, terutama di era globalisasi seperti saat ini. Daerah yang diberi otonomi terlalu besar harus siap bersaing dengan kota-kota atau negara lain jika tidak ingin mengalami nasib seperti Detroit.
Seperti diberitakan, pada Kamis (18/7), Manajer Keadaan Darurat yang ditunjuk Pemerintah AS, Kevyn Orr mengajukan permohonan kepada hakim federal untuk memasukkan Detroit dalam daftar perlindungan kebangkrutan. Salah satu kota besar di Michigan itu dinyatakan bangkrut dengan jumlah kewajiban utang mencapai US$ 18,5 miliar atau sekitar Rp 185 triliun. Kesulitan likuiditas telah membuat Pemerintah Kota Detroit menghentikan pembayaran gaji dan bunga utang kepada para kreditur pada Juni 2013 untuk menjaga operasional kota tetap berjalan.
Sebagai negara yang menganut sistem federal, negara-negara bagian di AS memang diberikan otonomi yang luas, termasuk soal fiskal. Pemerintah negara bagian bisa meminjam uang dari kreditur. Kota Detroit bangkrut karena dinilai telah mengalami kegagalan manajemen dan tak mampu membayar bunga utang kepada kreditor.
Otonomi yang berujung pada kebangkrutan suatu kota harus menjadi pelajaran bagi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Kita harus melihat kembali, apakah sistem desentralisasi melalui otda memang cocok diterapkan di Indonesia.
Beberapa hari lalu, saat acara buka puasa bersama dengan para wartawan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengingatkan soal ini. Ketika itu, Presiden SBY menyampaikan lima butir refleksi kenegaraan, salah satunya soal pelaksanaan otda. Dikatakan, para pendiri bangsa telah menetapkan bahwa Indonesia berbentuk negara kesatuan. Tetapi, di sisi lain, saat ini otonomi daerah dibuka seluas-luasnya. Menurut Presiden, tidak banyak negara yang menganut sistem paduan seperti Indonesia, yang ternyata masih menimbulkan sejumlah persoalan, terutama terkait hubungan pusat dan daerah.
Masih banyak program dan kebijakan di tingkat pusat yang tidak dijalankan dengan baik di daerah, terutama daerah otonom. Salah satu contohnya adalah kebijakan tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Kebijakan yang dikeluarkan melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 itu merupakan arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga 2025. MP3EI menjadi konsep yang komprehensif untuk meningkatkan perekonomian dengan memadukan berbagai potensi wilayah di Indonesia. Persoalannya, kebijakan ini hanya bagus di tingkat pusat, tapi tidak terlaksana dengan baik di daerah.
Kondisi itu diperparah dengan keberadaan sejumlah peraturan daerah (perda) yang dianggap bermasalah karena tidak sejalan dengan tujuan pemerintah untuk memajukan perekonomian. Dari ratusan perda yang bermasalah, kebanyakan terkait dengan perizinan dasar usaha, yakni pembuatan Surat Izin Usaha Perdagangan Tanda Daftar Perusahaan (SIUP-TDP). Masih ada puluhan daerah yang menarik pungutan dalam pembuatan SIUP, meski Peraturan Menteri Perdagangan pada 2007 sudah mengatur bahwa pembuatan SIUP-TDP gratis. Kondisi ini tentu saja bisa menghambat investasi di daerah, yang seharusnya bisa menjadi sumber dana bagi pembangunan daerah itu.
Dari berbagai contoh itu, kita bisa melihat bahwa Indonesia masih menganut sistem “gado-gado” dalam penerapan otonomi daerah. Di satu sisi, daerah diberi kewenangan untuk mengelola keuangan, tapi di sisi lain pusat masih memberikan dana untuk pembangunan daerah itu. Sayangnya, dana-dana dari pusat itu sebagian besar habis untuk biaya pegawai, termasuk biaya perjalanan dinas para pejabat daerah.
Kebangkrutan Detroit seharusnya menjadi pelajaran bagi pelaksanaan otonomi di Indonesia, yang menerapkan sistem negara kesatuan. Apa yang dialami Detroit seharusnya membuka mata bagi elite negara ini untuk mengkaji kembali sistem kenegaraan kita. Apalagi, masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang tidak siap melaksanakan sistem desentralisasi. Bukan tidak mungkin, daerah-daerah seperti itu mengalami kebangkrutan jika diberi otonomi penuh, yang ujungnya adalah perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber : http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/2680-belajar-dari-detroit.html
http://jaringnews.com/politik-peristiwa/opini/45282/jennie-s-bev-kebangkrutan-detroit-dan-kota-kota-as
http://international.sindonews.com/read/2013/07/20/42/763282/warga-as-korupsi-penyebab-kebangkrutan-detroit
No comments