Polisi yang Baik Hanya Ada Tiga
ATN - Menarik sebenarnya untuk menyimak wibawa kepolisian ini. Saya yakin, banyak polisi yang baik. Meskipun secara satir Gus Dur pernah mengatakan Polisi yang baik hanya ada TIGA: Patung Polisi, Polisi tidur dan Hoegeng. Tapi, melihat bagaimana kerja polisi mengatur lalu lintas, membuat saya tetap menghargai profesi mereka. Sayangnya, pengalaman saya berkaitan dengan oknum-oknum polisi yang mencoreng wibawa polisi juga tak kalah banyak.
Kasus 1
Salah satunya adalah sebuah pengalaman di bundaran patung obor Jakarta Selatan. Siang hari yang terik, saya diberhentikan polisi. Merasa tidak ada yang salah, saya pun tenang-tenang saja. Ternyata, saya salah, di siang hari yang terik itu saya tidak menyalakan lampu motor. Sebagai orang yang berjiwa anti korupsi, tentu saya tidak mau tawar menawar. Saya akan bersidang. Tapi sebelum itu, menjadi kesempatan bagi saya untuk berdiskusi langsung dengan polisi.
“Lah, itu pak, banyak banget yang ga menyaakan lampu. Kenapa mereka juga tidak ditilang?”
“Aparat kami terbatas, pak…. Kalau bapak mau membantu ya silahkan….”
“Boleh pak…. dengan senang hati akan saya bantu…..”
Entah di mana yang salah, pak polisi justru dengan nada marah menyahut, “tapi kan anda tidak membawa surat kepolisian?”
“Lah… katanya, bapak mempersilakan….”
Lalu saya dioper ke temannya. Polisi muda itu kemudian mengatakan, “bapak harusnya beruntung, kan dengan diperingatkan seperti ini… bapak tidak akan mengulangi kesalahan yang sama….” Masih menurut polisi itu, berdasarkan penelitian, kewajiban menyalakan lampu di siang hari telah menekan angka kecelakaan. Meskipun ketika saya tanyakan penelitian dari mana dan di mana bisa diakses hasilnya, polisi tersebut tidak menjawab dengan jelas.
“Yah… tentu saya juga menginginkan orang lain seberuntung saya pak. Mereka juga sebaiknya diingatkan. Kenapa justru hanya random saja memperingatkan pengendara?” Selain itu, saya juga bertanya, polisi yang menangkapi orang secara random ini sebenarnya membawa keberuntungan apa kesialan.
Salah satunya adalah sebuah pengalaman di bundaran patung obor Jakarta Selatan. Siang hari yang terik, saya diberhentikan polisi. Merasa tidak ada yang salah, saya pun tenang-tenang saja. Ternyata, saya salah, di siang hari yang terik itu saya tidak menyalakan lampu motor. Sebagai orang yang berjiwa anti korupsi, tentu saya tidak mau tawar menawar. Saya akan bersidang. Tapi sebelum itu, menjadi kesempatan bagi saya untuk berdiskusi langsung dengan polisi.
“Lah, itu pak, banyak banget yang ga menyaakan lampu. Kenapa mereka juga tidak ditilang?”
“Aparat kami terbatas, pak…. Kalau bapak mau membantu ya silahkan….”
“Boleh pak…. dengan senang hati akan saya bantu…..”
Entah di mana yang salah, pak polisi justru dengan nada marah menyahut, “tapi kan anda tidak membawa surat kepolisian?”
“Lah… katanya, bapak mempersilakan….”
Lalu saya dioper ke temannya. Polisi muda itu kemudian mengatakan, “bapak harusnya beruntung, kan dengan diperingatkan seperti ini… bapak tidak akan mengulangi kesalahan yang sama….” Masih menurut polisi itu, berdasarkan penelitian, kewajiban menyalakan lampu di siang hari telah menekan angka kecelakaan. Meskipun ketika saya tanyakan penelitian dari mana dan di mana bisa diakses hasilnya, polisi tersebut tidak menjawab dengan jelas.
“Yah… tentu saya juga menginginkan orang lain seberuntung saya pak. Mereka juga sebaiknya diingatkan. Kenapa justru hanya random saja memperingatkan pengendara?” Selain itu, saya juga bertanya, polisi yang menangkapi orang secara random ini sebenarnya membawa keberuntungan apa kesialan.
Kaskus 2
Akhirnya saya sidang. Di tempat sidang, sama sekali tidak ada suasana persidangan. Semua ramai sedemikian rupa. Benar-benar jauh dari kesan wibawa hukum. Bahkan, ketika sidang dimulai, suasana semakin gaduh. Ada yang berteriak, “Dah… cepat. Minta uang limapuluh ribu ajah bertele-tele…” dan benar saja, hakim langsung menanyakan, “apakah anda merasa dan menyadari kesalahan anda?”
Serempak hadirin menjawab, “tidaaakkkkkk”
Seolah tak mendengar adanya jawaban serempak itu, hakim kemudian mengatakan, “karena anda sudah menyadari kesalahan anda dan berjanji tidak mengulangi lagi maka dengan ini kami jatuhkan denda empat puluh sembilan ribu rupiah dan beaya administrasi seribu rupiah.” Palu diketok.
Sampai di luar, saya kembali bertanya pada seorang yang berpakaian jaksa, “Pak… kenapa bayarnya ga pakai kwitansi? bukankah aturannya pembayaran lewat rekening agar uangnya bisa benar-benar sampai ke negara?”
“Kita mau membantu masyarakat pak. Kita tidak ingin mempersulit dengan transfer segala. Tunai kan lebih mudah, pak?”
“Iya, pak…. Tapi kan kalau begitu menjadi rawan dikorupsi?”
“Enggak pak, kita lakukan tim. Jadi ga mungkin dikorupsi….”
Saya pun menyahut begini, “Lah, pak….. memangnya ada jaminan kalau tidak dikorupsi? korupsi kan sekarang tidak sendirian? korupsi malah dilakukan bersamaan?”
Mungkin jawaban saya salah. Pak petugas tersebut mukanya memerah sambil berteriak, “Ayo… yang lain cepat… Jangan menghambat tugas aparat!!!” Uang dendapun terus mengalir ke sebuah kotak untuk kemudian SIM yang disita diberikan kepada yang membayar. Kemudian saya bertanya lagi, “Pak, saya salah ya?”
Petugas itu tidak menjawab.
…………………………………….
Akhirnya saya sidang. Di tempat sidang, sama sekali tidak ada suasana persidangan. Semua ramai sedemikian rupa. Benar-benar jauh dari kesan wibawa hukum. Bahkan, ketika sidang dimulai, suasana semakin gaduh. Ada yang berteriak, “Dah… cepat. Minta uang limapuluh ribu ajah bertele-tele…” dan benar saja, hakim langsung menanyakan, “apakah anda merasa dan menyadari kesalahan anda?”
Serempak hadirin menjawab, “tidaaakkkkkk”
Seolah tak mendengar adanya jawaban serempak itu, hakim kemudian mengatakan, “karena anda sudah menyadari kesalahan anda dan berjanji tidak mengulangi lagi maka dengan ini kami jatuhkan denda empat puluh sembilan ribu rupiah dan beaya administrasi seribu rupiah.” Palu diketok.
Sampai di luar, saya kembali bertanya pada seorang yang berpakaian jaksa, “Pak… kenapa bayarnya ga pakai kwitansi? bukankah aturannya pembayaran lewat rekening agar uangnya bisa benar-benar sampai ke negara?”
“Kita mau membantu masyarakat pak. Kita tidak ingin mempersulit dengan transfer segala. Tunai kan lebih mudah, pak?”
“Iya, pak…. Tapi kan kalau begitu menjadi rawan dikorupsi?”
“Enggak pak, kita lakukan tim. Jadi ga mungkin dikorupsi….”
Saya pun menyahut begini, “Lah, pak….. memangnya ada jaminan kalau tidak dikorupsi? korupsi kan sekarang tidak sendirian? korupsi malah dilakukan bersamaan?”
Mungkin jawaban saya salah. Pak petugas tersebut mukanya memerah sambil berteriak, “Ayo… yang lain cepat… Jangan menghambat tugas aparat!!!” Uang dendapun terus mengalir ke sebuah kotak untuk kemudian SIM yang disita diberikan kepada yang membayar. Kemudian saya bertanya lagi, “Pak, saya salah ya?”
Petugas itu tidak menjawab.
…………………………………….
Harus kita sadari
Mungkin terlalu banyak cerita. Sejauh saya dengar, wibawa aparat kepolisian benar-benar jatuh dalam hal ini. Bukankah mereka merupakan aparat yang akan mengawal tegaknya hukum di Indonesia? Dalam hal-hal semacam itu, barang kali memang harus diakui bahwa saatnya institusi ini menegakkan wibawanya. Mau memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berkeluh kesah dan melaporkan kalau ada aparatnya yang mencoreng wibawa kepolisian. Saatnya, polisi juga melakukan semacam sidak di jalanan untuk memantau profesionalitas aparatnya.
Beberapa waktu dalam rapat di Badan Legislasi, Rabu, 26 Februari 2014 yang lalu Jenderal Sutarman mengatakan bahwa gaji polisi terlalu kecil. Beliau kemudian mengungkapkan kekhatirannya,kecilnya gaji memunculkan upaya perilaku menyimpang di kalangan aparat Kepolisian. Dengan fakta-fakta di lapangan semacam itu, rasanya penyimpangan perilaku aparat bukan lagi sebuah kekhawatiran, tapi menjadi semacam pemakluman.
Mungkin terlalu banyak cerita. Sejauh saya dengar, wibawa aparat kepolisian benar-benar jatuh dalam hal ini. Bukankah mereka merupakan aparat yang akan mengawal tegaknya hukum di Indonesia? Dalam hal-hal semacam itu, barang kali memang harus diakui bahwa saatnya institusi ini menegakkan wibawanya. Mau memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berkeluh kesah dan melaporkan kalau ada aparatnya yang mencoreng wibawa kepolisian. Saatnya, polisi juga melakukan semacam sidak di jalanan untuk memantau profesionalitas aparatnya.
Beberapa waktu dalam rapat di Badan Legislasi, Rabu, 26 Februari 2014 yang lalu Jenderal Sutarman mengatakan bahwa gaji polisi terlalu kecil. Beliau kemudian mengungkapkan kekhatirannya,kecilnya gaji memunculkan upaya perilaku menyimpang di kalangan aparat Kepolisian. Dengan fakta-fakta di lapangan semacam itu, rasanya penyimpangan perilaku aparat bukan lagi sebuah kekhawatiran, tapi menjadi semacam pemakluman.
Hoegeng Imam Santoso
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Masa jabatan
9 Mei 1968 – 2 Oktober 1971
Presiden Soeharto
Didahului oleh Soetjipto Joedodihardjo
Digantikan oleh M. Hasan
Masa jabatan
9 Mei 1968 – 2 Oktober 1971
Presiden Soeharto
Didahului oleh Soetjipto Joedodihardjo
Digantikan oleh M. Hasan
Sumber
No comments