MIDNIGHT MIST: PART ONE
CREDIT BY ANDIETA OCTARIA
***
South Carolina, 1980
Josh menatap kejauhan. Kantung matanya yang menggelap menggantung di bawah matanya yang merah. Ia berusaha menutupi matanya yang bengkak dengan kaca mata hitam, namun kacamata murah itu membuatnya kesulitan mengemudikan truknya. Maka ia membiarkan semua orang menatap wajahnya yang sayu, matanya yang tanpa nyawa.
Ia baru saja menghabiskan berjam-jam tanpa henti menyupir truk tuanya dari Alabama. Matanya perih, badannya terasa kaku dan kakinya seakan terbakar. Namun ia tak berhenti sedikitpun. Berhenti membuatnya beristirahat. Dan beristirahat membuatnya memiliki waktu untuk mengingat pemakaman ibunya dua hari yang lalu. Mengingat kematian ibunya adalah hal terakhir yang ia inginkan saat ini.
Ia membuka lebar-lebar jendela mobilnya, membiarkan aroma laut yang asin memenuhi paru-parunya. Sudah bertahun-tahun semenjak terakhir kali ia meninggalkan tempat ini. Ia dilahirkan disini. kedua orang tuanya juga pertama kali jatuh cinta di kota ini. Di saat musim panas dan pasir pantai berwarna keemasan. Namun itu semua terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Josh menelan ludah pahit. Semua yang ia miliki dirampas darinya. Ia sangat dekat dengan bapaknya yang pemabuk. Bila tidak terlalu mabuk, papa biasanya akan mengajaknya ke hutan, mengajarkan nama-nama tumbuhan atau sekedar mengajarinya memanjat pepohonan. Suatu hari, Josh mendengar suara teriakan dan piring pecah. Lalu ia mendengar suara ibunya menangis. Ia terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi. Namun tak berapa lama, ia mendengar suara pintu di banting, lalu suara papa yang melangkah menjauh.
Itu terakhir kalinya Josh mendengar suara langkah kaki papa. Langkah berat dan suara hentakan sepatu boot satu-satunya yang selalu dipakai papa dengan bangga. Setelah itu, hidup menjadi sulit. Ibu mulai bekerja hingga larut malam, membiarkan ia dan Soosan bermain sendirian di rumah. terkadang mereka hanya bermain petak umpet di dalam rumah. Namun terkadang, mereka juga bermain di hutan dekat rumah.
Hanya saja, hari itu entah mengapa Josh merasa terlalu malas untuk bermain di luar. Meskipun Soosan memintanya berkali-kali untuk bermain, ia tetap tak mau meninggalkan kamar, asik bermain sendirian dengan pedang kayunya. Hingga akhirnya, Soosan memilih untuk bermain sendiri ke hutan.
Dan semenjak itu, Soosan tidak pernah pulang ke rumah.
Josh tak pernah sekalipun memaafkan dirinya sendiri karena kejadian itu. Tak lama setelah Soosan menghilang, ibu memutuskan untuk pindah. Di kota barunya, Josh yang tidak bersekolah hanya menjadi tukang cuci piring dari satu restoran ke restoran lainnya. Sementara ibunya yang tak lagi pernah tersenyum menjadi semakin mabuk dari hari ke hari. Mata biru ibunya yang terkenal di seluruh kota karena kecantikannya semakin lama semakin meredup. Hingga dua hari yang lalu, ibunya ditemukan meninggal di flat mereka. Matanya terbuka; mata biru yang tak lagi bernyawa.
Ia menangis tanpa henti semenjak pemakaman ibunya. Ia menangisi papa, Soosan, ibu, dan segala hal yang tak pernah ia miliki. Namun, kini ia memutuskan untuk kembali ke South Carolina. Ia merasa ibunya meninggal karena ia tidak menjaga Soosan dengan baik. Ia gagal sebagai kakak karena membiarkan Soosan hilang, dan kini ia gagal sebagai anak karena membiarkan ibunya meninggal. Ia bertekad untuk kembali ke hutan tempat Soosan hilang. Sejujurnya, ia sendiri tak mengerti apa yang akan ia lakukan, namun ia tak memiliki hal lain untuk dikerjakan.
Josh berhenti. Ia lantas memarkir mobilnya. Matahari masih bersinar terik di atas kepala, namun rimbun hutan membuat matanya tak dapat melihat lebih jauh lagi. Ia meraba sakunya. Pisau lipat kecil terasa dingin di dalam genggamannya. Ia keluar dari mobil dengan mantap, lalu mulai masuk ke dalam hutan.
Ternyata keadaan hutan di siang hari tidak segelap yang ia duga. Sinar matahari masih bisa merembes ke dasar hutan, menciptakan garis-garis tipis yang keemasan di celah dedaunan. Namun hutan ini sepi. Terlalu sepi. Josh membatin dalam hati. Ia tak mendengar suara kumbang, kelinci, rusa, atau bahkan gemericik air. Seperti tak ada kehidupan.
Semakin jauh ia melangkah semakin mati hutan di depannya. Bahkan ia tak lagi mendengar suara gemerisik dedaunan. Seakan ialah satu-satunya makhluk hidup di tempat ini, dan pepohonan hanyalah makhluk yang menahan nafas saat ia melangkah.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Sebuah pohon sycamore menjulang tinggi di depannya. Terlalu besar. Hutan ini mungkin berusia ratusan tahun, namun pohon ini seperti lebih tua dari itu. Akarnya yang besar mencuat dari tanah. Batangnya berbonggol-bonggol. Josh meraba bonggol-bonggol pohon tersebut, dan tiba-tiba ia terkesiap.
Bonggol itu! Bonggol itu memiliki lekukan seperti wajah. Dan Josh mengenali wajah itu. Ia meraba permukaan kulit pohon. Bonggol itu seakan menyerupai wajah seorang gadis kecil dengan pipi gembil dan bibir kecil yang setengah terbuka. Mata kanan gadis itu sedikit lebih kecil dari mata kirinya. Jantung Josh seakan berhenti berdetak. Itu wajah Soosan!
Ia mengelilingi pohon tersebut, memperhatikan masing-masing bonggol yang mencuat dari pohon dengan seksama. Pohon tersebut dipenuhi puluhan atau bahkan ratusan bonggol di permukaannya. Dan ia terkejut bukan main saat melihat masing-masing bonggol memiliki wajah yang berbeda. Bahkan beberapa bonggol memiliki bentuk seperti muka binatang. Seakan itu semua belum cukup, salah satu bonggol menunjukkan wajah yang membuat kakinya bergetar hingga tak lagi mampu berdiri.
Wajah papa.
Josh memang masih sangat kecil saat Papa pergi dari rumah.Nnamun diam-diam, ia menyimpan satu foto papa di bawah tempat tidurnya. Foto itu selalu ia simpan dengan rapi. Ia tahu papa pergi setelah bertengkar dengan ibu. Namun pergi kemana? Apakah papa pergi ke bar? Atau ke tengah hutan?
Josh mengerang marah. Pohon ini terkutuk. Ia mengeluarkan pisau lipat dari kantungnya, dan menikam pohon tersebut bertubi-tubi. Getah pohon mengalir keluar dari bekas tikamannya. Merah dan kental.
“GGGGGRRRRRRRRRH APA YANGHH KAU LAKUKANHH!”
Josh membeku. Suara itu berasal persis dari belakangnya. Sebelum ia sempat menoleh, kepalanya dihantam oleh sesuatu. Pandangannya mendadak buram dan segalanya menjadi gelap.
TO BE CONTINUED
No comments